Featured Video

Jam

Senin, 17 Mei 2010

UU Kesehatan No. 36/2009 Digugat !


Ditulis Oleh : Joko Rinanto (Sekjend ISMAFARSI)

Pada kamis 6 mei 2010 sidang kedua gugatan terhadap UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 digelar di Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Sidang yang dihadiri pihak penggugat, yaitu saudara Misran S.Km, seorang yang berprofesi sebagai perawat dan bekerja sebagai Kepala Puskesmas Pembantu Kuala Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur juga dihadiri oleh Perwakilan dari PPNI sebagai pendamping dan saksi ahli meliputi perwakilan dari IDI dan IAI. Sementara dari pemerintah diwakili oleh Kepala Dirjen Alkes dan Binfar Depkes, Dra.Sri Indrawati,. Apt. Adapun  materi gugatan adalah mengenai penghapusan terhadap pasal 108 ayat (1) UU kesehatan No.36 tahun 2009 beserta Penjelasan Pasal 108 ayat (1) dan peninjauan atas pasal 190 ayat (1) UU kesehatan tersebut yang terkait dengan sanksi atas penolakan pekerjaan kesehatan seperti yang dimandatkan pasal 32 ayat (2) dan pasal 85 ayat (2).
Latar belakang Misran sendiri adalah seorang yang pernah dijatuhi hukuman oleh pengadilan karena melakukan pelanggaran atas UU kesehatan No.23 Tahun 1992 dengan sangkaan  menyimpan dan menyerahkan obat daftar G kepada pasien tanpa melalui resep dokter pada Maret 2009 lalu. Berbekal  latar belakang ini pula yang akhirnya membuat Misran beserta kuasa hukumnya mengajukan gugatan berupa Judicial Review atas Pasal 108 UU kesehatan no. 36 tahun 2009. Gugatan Misran  terdaftar dalam  Mahkamah Konstitusi dengan perkara nomor 12/PUU-VIII/2010 Perihal Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Argumentasi yang diutarakan Misran adalah bahwa terjadi fakta dilematis di lapangan terhadap implementasi UU Kesehatan No. 23 tahun 1992 yang secara filosofis bertentangan dengan pasal 28 UUD 1945. Pada pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 disebutkan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Melihat pasal 28 H ayat 1 tersebut, maka misran beserta kuasa hukumnya mengusulkan bahwa Pasal 108 UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 agar dibatalkan keabsahannya karena tidak mempunyai kekuatan hukum dan bertentangan dengan UUD 1945.
Sekilas jika melihat gugatan yang diajukan Misran seolah kedua produk hukum ini bertentangan, terlebih karena melihat fakta di lapangan seperti yang dialami oleh Misran yang pernah dijatuhi hukuman tiga bulan penjara dengan sangkaan melakukan praktek kefarmasian swakarya, sedangkan dirinya adalah seorang tenaga keperawatan. Berbekal argumentasi tambahan perihal kedaruratan yang tertera pada pasal 32 dan 85 UU kesehatan No. 36 Tahun 2009 sebagai penguat argumentasi, tindakan Misran dinilai sebagai aksi kemanusiaan yang terjegal oleh adanya pasal 108 UU Kesehatan No.36 Tahun 2009 dan menjadi sangat dirugikan dengan sanksi yang akan diterima jika melanggar pasal 190 UU Kesehatan Tahun 2009, dalam hal ini Misran sebagai Kepala Puskesmas Pendamping yang melakukan pelayanan kesehatan secara terbatas. Pendek kata, upaya kemanusiaan yang dilakukan Misran akan menemui sangkaan kriminalisasi dengan adanya pasal 190 UU Kesehatan  tahun 2009.
Jika dikaji lebih mendalam sesungguhnya upaya pembatalan konstitusi pada Pasal 108 UU Kesehatan Tahun 2009 adalah sebuah gugatan yang berlandaskan ambiguitas. Mari kita kaji lebih mendalam lagi mengenai permasalahan ini dengan menarik kepada Pasal 108 UU Kesehatan tahun 2009. Pada Pasal 108 ayat (1) disebutkan “Praktek kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian  mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Pada ayat (2) disebutkan pula “Ketentuan mengenai pelaksanaan praktek kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”.
Memang pada penjelasan pasal 108 ayat (1) disebutkan “Yang dimaksud dengan “tenaga kesehatan” dalam ketentuan ini adalah tenaga kefarmasian sesuai dengan keahlian dan kewenangannya. Dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, misalnya antara lain dokter dan/atau dokter gigi, bidan,dan perawat, yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.Namun yang menjadi permasalahan gugatan adalah gugatan ini dilandaskan atas dasar kejadian kasuistik parsial yang terjadi pada seorang oknum yang akhirnya digeneralisir.

Jika menarik pada landasan gugatan adalah kasus yang merugikan dengan sangkaan pada pelanggaran UU Kesehatan No. 23 Tahun 2003 tidak ada keterkaitannya secara Legal Standing kepada UU kesehatan No. 36 tahun 2009 sebagai pengganti undang-undang yang lama, karena permasalahan hukum yang dialami oleh oknum tersebut adalah sangkaan atas undang-undang yang telah tidak berlaku lagi saat ini. Seharusnya dengan adanya perubahan undang-undang justru akan menjadi angin segar bagi seorang yang terjerat kasus hukum karena pelanggaran atas undang-undang yang tidak berlaku lagi, dimana upaya pembelaan atas pembatalan vonis dan sanksi atas pelanggaran undang-undang tersebut menjadi suatu yang sangat terbuka lebar.Obat daftar G (Gevaarlijk, yang artinya berbahaya) seharusnya hanya dapat diperoleh melalui resep dokter. Obat ini dianggap tidak aman, atau penyakit yang menjadi indikasi obat tidak mudah didiagnosis oleh awam. Obat golongan ini bertanda dot merah. Maka dalam peredaran, penyimpanan, serta pemberian sediaan ini untuk dipergunakan dalam proses penyembuhan perlu adanya perlindungan dan pengawasan yang ketat. Pemberian obat yang termasuk dalam kategori berbahaya tanpa adanya kewenangan dan keahlian dapat membahayakan masyarakat. Obat harus diberikan secara aman dan efektif oleh orang yang memiliki keahlian dan kewenangan sehingga memiliki efek terapis yang maksimal. Pihak yang berwenang dalam memberikan obat harus diatur secara tegas agar tidak terjadi penyalahgunaan obat yang berpotensi untuk membahayakan pasien. Bila obat diberikan secara salah, maka dapat terjadi bahaya seperti resistensi obat, kecacatan permanen, bahkan kematian. Upaya regulasi demi keamanan dan efektifitas penggunaan obat adalah makna filosofis dalam pasal 108, jadi tujuan dari pasal tersebut adalah untuk urusan kemanusiaan juga, yakni untuk melindungi pasien dari bahaya penggunaan obat dan penyerahan obat tanpa disertai informasi yang memadai. Maka, justru yang perlu dipertanyakan apakah dengan menghapus pasal tersebut memang murni urusan kemanusiaan ? Karena dengan menghapus pasal tersebut justru akan terjadi kevakuman regulasi terhadap pekerjaan kefarmasian dan setiap orang dapat melakukan pekerjaan kefarmasian tanpa berlandaskan SOP (Standar Operasional Prosedur). Padahal dalam Pasal 3 PP 51 Tahun 2009 telah ditegaskan “Pekerjaan Kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, dan perlindungan serta keselamatan pasien atau masyarakat yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi yang memenuhi standar dan persyaratan keamanan, mutu, dan kemanfaatan”.Pada pasal tersebut telah dijabarkan mengenai masalah pengamanan dan tujuan kemanusiaan dalam kaitannya dengan standarisasi pelayanan, lalu mengapa justru upaya pengamanan dalam pasal 108 dan penjelasannya justru malah dipermasalahkan ?
Jika sebenarnya keberadaan pasal 108 pada UU 36/2009 dalam rangka melindungi pasien dari kesalahgunaan dalam pengobatan justru tidak dapat dikatakan bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu dalam hal kewenangan, Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yang mengurusi peraturan yang menyalahi undang-undang, maka masalah implementasi bukan bagian dan wewenang MK. Adapun yang diperlukan dalam upaya pemberian wewenang dan batasannya ada pada Peraturan komplementer dalam tingkatan eksekutif agar semua elemen profesi kesehatan dapat terlindungi dan terfasilitasi secara profesi masing-masing. Jika undang-undang yang telah ada dalam rangka perlindungan dan kemanusiaan malah justru dikebiri maka yang harus dipertanyakan adalah untuk urusan kemanusiaan kah ? Atau karena untuk kepentingan parsial saja ?

0 komentar:

Posting Komentar